Jumat, 16 April 2010

Ekonomi Syari’ah terdiri atas dua akar kata yaitu ekonomi dan syari’ah. Kata Ekonomi berasal dari bahasa latin yaitu ekos dan nomos yang berarti orang yang mengatur rumah tangga. Dan dalam bahasa arab istilah ekonomi berasal dari kata dasar qashada yang melahirkan kata qashd, qashadan, qashdi, qashd, maqshid atau maqashid dan iqtishad. Dari sini lahirlah istilah ilm alqtishadi (ilmu ekonomi).

Dalam alqur’an dijumpai beberapa kata yang berakar dari qashada, diantaranya:

1.Kata qashid pada surah luqman 9 yang berarti sederhana.

2.Kata qashdu pada surah an Nahl 9 yang berarti jalan lurus/stabil.

3.Kata qashidan pada surah at Taubah 42 dengan arti keinginan atau Kebutuhan

4.Kata Muqtashid pada surah Luqman 32 yang berarti jalan lurus dan pada surah Fathir 32 dengan arti pertengahan.

5.Kata Muqtashidatun pada surah al Maidah 66 yang berarti Pertengahan.

Dari berbagai pengertian istilah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok berbagai aktifitas ekonomi dalam Islam harus dapat merealisasikan pencapaian kesempurnaan manusia melalui aktualitas maqashidus syari’ah.(Makalah Ekonomi Islam, hal..1 dan 2)

Adapun maqashidus syari’ah itu adalah untuk memelihara jiwa, akal, keturunan, kehormatan dan harta.

Sedangkan Syari’ah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiyah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mesti dilalui. Secara terminology, definisi syri’ah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya.

Sebab inilah kenapa ekonomi Islam sering disebut dengan ekonomi syari’ah, karena ekonomi syari’ah adalah ekonomi yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk al Qur’an dan Hadits.(Habib Nazir,hal.543)

Di dalm surah Al-Jasyiyah ayat 18, Kami jadikan engkau di atas perkara yang disyari’atkan, maka ikutlah syari’at itu dan jangan engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Dari ayat ini jelaslah bahwa:

a)syari’at itu dari Allah.

b)syari’at itu harus diikuti.

c)syari’at tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu. (Djazuli, hal.13)

Sedangkan menurut Abdul Manan, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. (Abdul Manan, hal.1)

Mengenai prinsip syari’ah, telah digariskan oleh Undang-undang nomor 10 tahun 1998, pasal 1 angka 13 prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina’).(M.Amin,.937)

Dari Penjelasan pasal 49 huruf (i) Undang-undang nomor 3 tahun 2006 ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu:

Pertama kata-kata menurut prinsip syari’ah, tidak dikatakan menurut syari’at atau berdasarkan syari’at, karena kata prinsip (prinsiples) mempunyai arti tersendiri tidak hanya merujuk pada aturan yang tegas dan operasional tetapi cukup ada ketentuan pokok atau prinsip umum dari syari’ah. Kedua kata-kata antara lain: mengandung 11 bidang yang masuk dalam lingkup ekonomi syari’ah, tidak bersifat limitative karena masih ada lagi bidang-bidang lain yang belum disebutkan dan akan ditentukan secara khusus tersendiri dalam ketentuan lain (Abdurrahman, hal..10 dan 11.)

Menurut pendapat Abdul manan, bahwa ekonomi syari’ah dibahas dalam dua disiplin ilmu

yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam dimana ilmu ekonomi Islam dalam hal

ini Fiqh Mua’amalat tetap menjadi penting untuk menjustifikasi, mengontrol dan merekayasa perkembangan ekonomi Islam agar tetap berada dalam bingkai syari’ah.(Amiur Nuruddin, hal.5)

Dalam konteks fiqh klassik pembahasan mengenai ekonomi dan yang berkaitan dengan itu dibahas dalam fiqh mu’amalah.

Fiqh mu’amalah dalam arti luas membahas masalah ahwalus syakhshiyah seperti munakahat, mawaris, wasiat dan wasiyat. Akan tetapi fiqh mu’amalat dalam arti sempit yaitu ahkamul madaniyah, yang membahas tentang jual beli (bai’), membeli barang yang belum jadi dengan disebutkan sifat-sifatnya dan jenisnya (salam), gadai (arrahn), kefailitan (taflis), pengampuan ( hajru), perdamaian (asshulh), pemindahan hutang (al hiwalah), jaminan hutang (addhaman alkafalah), perseroan dagang (syarikat) perwakilan wikalah), titipan (alwadi’ah) pinjam meminjam (al ‘ariyah, merampas atau merusak harta orang lain (al ghashb), hak membeli paksa (syuf’ah), memberi modal dengan bagi untung ( qiradh) penggarapan tanah (almuzara’ah musaqah), sewa menyewa (al ijarah), mengupah orang lain menemukan barang hilang (al ji’alah), membuka tanah baru (ihya almawat) dan barang temuan (luqathah). (Djazuli, hal.51).

Untuk mendapatkan cap pengakuan dari aturan Islam terutama syariah, satu produk harus mengakomodasi dua hal. Pertama tidak boleh berbunga (riba) dan tidak boleh mengandung hal-hal yang dilarang agama secara umum seperti alkohol, judi.(Waspada,26-12-2006, hal.4), disamping itu prinsip ekonomi Islam (maslahat,’adalah, musawah) seperti azas mewujudkan kesejahteraan umum, azas keadilan sosial, azas demokrasi sosial.(Amiur Nuruddin, hal.10) ditambah lagi dengan prinsip umum dalam ajaran Islam (‘an taradhin, Annisa’ 9 dan laa dharara walaa dhiraara, Al hadis, laa tazlimuna walaa tuzlamuuna Al-baqarah 273).Dengan diterapkannya prinsip-prinsip tersebut di atas dalam praktek ekonomi syari’ah diharapkan akan tercipta masyarakat yang falah yakni masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual. Dan terhindar dari kegagalan karena Islamic Bank is too holy to fail = Bank Islam terlalu suci untuk gagal, karena seluruh akad-akad yang bernuansa syari’ah bukan hanya perikatan duniawi semata tetapi juga perikatan ukhrawi yakni apabila tidak sesuai dengan prinsip syrai’ah, maka akibatnya bukan hanya berlaku di dunia ini saja tetapi juga berlanjut sampai akhirat, oleh karena itu perlu prinsip prudensial atau ihtiat yakni prinsip kehati-hatian.

Kembali kepada topik pembahasan di atas yankni ekonomi syari’ah, sebagaimana dijumpai dalam pasal 49 huruf (i) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, penambahan kewenangan peradilan agama adalah:

1.Bank syari’ah.

Undang undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan mulai memperkenalkan Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan prinsip syari’ah yang kemudian berkembang menjadi Bank syari’ah. Dimana Bank syari’ah dimulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1992 ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia.

Yang dimaksud dengan Bank Syari’ah adalah Bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran .(Buletin berkala Hukum Dan Keadilan, hal.64) dan BSM (Bank Syari’ah Mandiri) menerapkan prinsip keadilan, kemitraan, transparansi dan universal.

Menurut Karnaen A. Perwaatmadja, Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan syari’ah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba. (Muhammad Firdaus NH. Et-al.hal.18)

Dari penjelasan tersebut di atas tergambar kepada kita bahwa letak perbedaan antara Bank konvensional dengan Bank Syari’ah yaitu perbedaan mendasar dalam hal konsepsional dan pengelolaan dari bank syari’ah dengan bank konvensional terletak pada pendapatan keuntungan yang berasal dari bagi hasil dan bunga pinjaman.(Buletin Berkala Hukum & Keadilan, hal.68)

Perbedaan prinsip Bank Syari’ah VS Bank Konvensional:

Falsafah :

Syariah : Tidak berdasarkan bunga,spekulasi dan ketidak jelasan

Konvensional :Berdasarkan bunga

Operasional

Syariah : -Dana masyarakat berupa titipan (wadi’ah) yang baru akan mendapat hasil jika diusahakan terlebih dahulu – Penyaluran dana pada usaha yang halal dan menguntungkan

Konvensional : -Dana masyarakat berupa simpanan harus dibayar bungannya pada saat jatuh tempo

– Penyaluran dana pada sector yang menguntungkan,aspek halal tdk menjadi pertimbangan utama

Aspek social

Syariah : Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dlm misi dan visi

Konvensional : Tidak diketahui secara tegas

Organisasi

Syariah : Harus memiliki Dewan Pengawas Syari’ah

Konvensional : Tidak memiliki Dewan Pengawas syari’ah

BMI menegluarkan pembiayaan mudharabah dengan system bagi hasil dengan cara menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja sepenuhnya (shahibul mal) dan Nasabah menyediakan usaha dan manegemennya (Mudharib), keuntungan dibagi sesuai kesepakatn dalam bentuk nisbah. Misalnya BMI sebagai shahibul mal (Pemodal) mendapat keuntungan 65 % dan Pengusaha sebagai Mudharib (nasabah) mendapat 35 %. (Ensiklopedi Hukum Islam,IV, hal.1198)

Bank Syari’ah di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat bahkan nasabahnya bukan hanya orang Islam tapi non mulim juga banyak, sebgaimana dilansir oleh Koran Waspada Edisi Rabu tanggal 4 Januari 2007 hal.7, bahwa Bank Syari’ah di Medan nasabahnya 5 s/d 10 % non muslim sedangkan di Medano, jumlah nasabahnya 21.000 dan 2,5 % (525 orang) nasabahnya non muslim.

Adapun tujuan mendirikan Bank Islam (Syari’ah) adalah tujuan utama Bank Islam didirikan adalah menerapkan ajaran Allah secara konsekwen dalam lapangan perekonomian dan bisnis dan menghindarkan masyrakat Islam dari larangan-larangan agama.(A.Abd.Aziz Annajjar, hal.31).

Mengenai kegiatan Bank Syari’ah secara rinci diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.6/24/PBI/2004 tgl.14 Oktober 2004 Jo. Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tgl.25 September 2005 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah pada pasal 36 dan 37. Dan Peraturan Bank Indonesia No.6/17/PBI/2004 tgl. 1 Juli 2004 tentang BPR berdasarkan prinsip syari’ah pada pasal 34.

http://pa-sidikalang.net/index.php?option=com_content&view=article&id=119:ekonomi-syariah&catid=37:artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar